Semesta tak lagi
berpihak padamu,
Langit hendak
meruntuhkan inginmu,
Dunia menampar
lagi takdirmu,
Kemana hendak kau
lari?
Akulah
satu-satunya tempatmu kembali.
*
Aku menulis
lagi di lembaran kosong buku hijauku. Sudah ratusan kata aku hapus percuma.
Entah pikiran apa yang kini menggelayutiku. Jam tua sudah berdentang dua belas
kali, tapi inspirasi semakin kabur, seolah aku benar-benar tidak ditakdirkan
untuk menulis malam ini.
Aku hanya
terpaku menatapi buku hijau. Buku pemberian ayah yang dia beri sebelum ia pergi
tanpa pamit. Hanya meninggalkan hutang dan aib keluarga. Sedangkan ibuku harus
menanggung biaya hidup kami bertiga, bekerja paruh waktu di rumah juragan Fatkhurrahman.
Juragan beras terkenal dari Kadipura ini memang sangat baik, ia menanggung
seluruh biaya sekolah kami bertiga. Namun sifatnya yang genit ini terkadang
membuatku iba kepada ibu. Bagaimana tidak, ibuku yang masih cantik dan segar kerapkali
digoda untuk dijadikan istri keenam-nya. Ah, dasar kau lelaki, tak ada bedanya
dengan ayahku!
“Amel, kok kamu belum tidur to, Nduk? Lagi ngerjain apa?” suara ibu membuatku terperanjat dan lekas kututup
buku hijau pemberian ayah.
“A ... A ... nggak, Bu, aku lagi insomnia aja,” aku gugup membuat jawaban bohong.
Sebenarnya aku hendak membuat proyek lomba menulis cerpen di sekolah.
“Tumben
insomnia, biasanya kamu cepat banget
molornya, Nduk,” seperti kebiasaan ibu sebelumnya, ia memang suka
menyindir.
“Aduh, ibu tahu
aja, hehe. Lha ibu sendiri kok belum tidur? Ibu masih memikirkan
perkataan Bu Tutus siang tadi, ya?”
“Tak tahu, Nak.
Ibu tak tahu lagi harus berkata apa di depan istri muda juragan Fatkhur itu. Ia
selalu menuduh bahwa ibulah yang suka menggoda suaminya. Ibu sudah tak enak
hati bekerja di sana. Apa ibu cari kerja lain aja ya, Nduk? Tapi mencari pekerjaan itu juga nggak mudah. Ah, ibu bingung,”
“Sudah, Bu ... Ibu jangan merasa bersalah.
Toh, ibu tadi sudah menjelaskan yang sebenarnya. Ibu juga sudah minta maaf dan
memang tuduhan Bu Tutus itu tidak terbukti, kan? Kalau ibu tidak bekerja di
juragan Fatkhur lagi, aku, Isma dan Isna harus gimana, Bu? Juragan Fatkhur kan
yang membiayai sekolah kita. Sedangkan ayah ... Ah, ia sudah tidak bisa
diharapkan, ia pasti sudah bersenang-senang dengan keluarga barunya,”
“Hussh, jangan sering menyalahkan ayahmu,
Nduk. Ayah juga manusia kan, hidup
adalah pilihan, ayah berhak memilih, Nduk.
Mungkin bagi ayah menceraikan ibu adalah pilihan yang menurutnya baik daripada
ia harus berpura-pura mencintai ibu selamanya, betul ndak?” dan lagi-lagi jawaban ibu selalu membela ayah.
“Ikhlaskan, Nduk. Ikhlaskan ... Ibu sudah bahagia kok. Ibu tidak sendiri, ibu masih punya
tiga anak kembar yang cantik, pintar, dan mempunyai hati sebening embun. Ya,
ibu masih punya Amel, masih punya Isma, masih punya Isna. Nikmat Tuhan mana
lagi yang mau ibu dustakan?” perkataan ibu sedikit menghiburku tapi tetap saja
sulit kuterima. Aku ingin melawan garis takdir. Ibu kurang apa, Tuhan? Bukankah
ia begitu baik?
Dan aku semalam
ini tak bisa tidur, hanya sibuk menyeka air mata. Menangis untuk ibu dan kedua
adikku, Isma dan Isna.