Belantik (Bekisar Merah II)
2. Pengarang
Novel : Ahmad Tohari
3. Tahun
terbit : 2001
4. Penerbit : PT Gramedia
Pustaka Utama
5. Jumlah
Halaman : 142 halaman
6. Unsur-Unsur
Intrinsik :
· Tema : Liku-liku perjalanan hidup Lasi dari gadis
dusun menjadi wanita sosialita.
·
Tokoh dan
Penokohan :
a. Lasi : Lugu, sederhana, setia,
penurut, mudah ditipu.
b. Kanjat : Pandai, setia, sederhana,
rela berkorban.
c. Pak
Bambung : Licik, haus akan
kekuasaan, gila wanita, tega.
d. Handarbeni : Haus akan kekuasaan dan materi,
keras kepala, pemarah.
e. Bu
Lanting : Materialistik, genit,
suka menipu, licik.
f. Eyang
Mus : Baik hati, sederhana,
bijaksana.
g. Pak
Min :
Sederhana, patuh pada atasan, penganut paham kejawen.
h. Bu
Min :
Cerewet, baik hati, suka menolong.
i.
Pardi :
Cekatan, suka menolong.
j.
Blakasuta : Suka menolong, baik hati.
· Latar :
a. Latar
tempat :
Ø Jakarta : Perkantoran, perumahan elite di timur
Bundaran HI.
Ø Singapura : Pusat perbelanjaan, hotel.
Ø Karangsoga:
Rumah Lasi, rumah Eyang Mus, Musholla.
Ø Di
dalam kapal yang sedang berlayar dari Karangsoga menuju Sulawesi.
b. Latar
waktu : Peristiwa
pada novel ini tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya. Novel ini hanya
menunjukkan bahwa peristiwa terjadi pada pagi, siang, sore, dan malam hari,
c. Latar
suasana :
Ø Menyedihkan : Terjadi ketika penulis menceritakan
jalan hidup Lasi sejak ia menikah dengan Darsa hingga ia menjadi simpanan Pak
Bambung.
Ø Mengharukan : Terjadi pada saat Lasi menikah dengan
Kanjat dan pada saat pertemuan Lasi dengan Kanjat di Rutan.
Ø Menegangkan : Terjadi pada saat penangkapan Lasi di
dalam kapal oleh polisi.
Ø Membahagiakan : Terjadi pada saat Lasi mengetahui bahwa ia
hamil anak Kanjat dan pada saat Lasi diputuskan bebas oleh pihak kepolisian.
d. Alur : Novel ini
menggunakan alur maju, karena diawali dengan perkenalan para tokoh kemudian
dilanjutkan dengan jalan hidup tokoh.
e. Gaya
bahasa : Gaya bahasa
penulis banyak menggunakan kata-kata konotasi dalam penyampaian jalan ceritanya.
Selain itu banyak menggunakan istilah-istilah tidak baku. Penulis juga
menyisipkan pepatah-pepatah Jawa untuk menyelaraskan dengan jalan cerita.
f. Sudut
pandang : Novel ini
menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu.
g. Amanat :
Ø Berpikirlah
sebelum bertindak sesuatu, janganlah terlalu menuruti kemauan orang lain. Kita
harus tahu mana yang baik untuk dilakukan dan mana yang tidak.
Ø Kekuasaan
dan materi bukanlah segalanya. Janganlah kita menghalalkan segala cara demi
memuaskan nafsu duniawi kita, karena akibatnya akan sia-sia.
Ø Menjaga
kesuciaan bagi wanita adalah hal yang sangat penting untuk menghormati suami.
7. Sinopsis
Novel “Belantik (Bekisar Merah II)”
Kisah pada novel ini bermula dari kebingungan
Handarbeni dalam menghadapi Pak Bambung yang menjadi atasannya. Pak Bambung
yang tenar karena menjadi pelobi besar di kalangan para pejabat ini menginginkan
istri Handarbeni yang bernama Lasi. Lasi, seorang gadis dusun yang kabur dari
Karangsoga ini ditemukan oleh Bu Lanting, seorang mucikari profesional dari
Kota Jakarta, saat ia kabur lantaran sakit hati ditinggal kawin oleh suaminya
yang pertama bernama Darsa.
Lasi disebut “bekisar merah” lantaran wanita cantik
ini berdarah campuran Ambon-Jepang. Banyak pejabat-pejabat kelas tinggi yang
menginginkan Lasi untuk menjadi pendamping hidupnya. Bu Lanting sengaja
membantu Pak Bambung untuk mendapatkan Lasi dengan cara liciknya. Ia mengajak
Pak Bambung dan Lasi jalan-jalan ke Singapura. Bu Lanting juga menjebak mereka
di dalam hotel. Lasi yang merasa berhutang budi pada Pak Bambung lantaran
dibelikan kalung seharga miliaran rupiah –meskipun bukan keinginannya- terpaksa
menemaninya dalam hotel tersebut. Keesokan harinya Lasi diceraikan oleh
Handarbeni.
Lasi sangat sedih karena perkawinannya yang kedua
akhirnya kandas juga. Bu Lanting meminta Lasi agar mau dinikahi dengan Pak
Bambung. Bu Lanting mengiming-imingi Lasi oleh kemewahan-kemewahan yang akan
Lasi dapatkan selama menjadi istri Pak Bambung. Selain itu, ia mengancam Lasi,
jika Lasi tidak mau menikah dengan Pak Bambung, maka akibatnya akan fatal.
Bahkan, Lasi bisa dituduh melakukan pencurian kalung seharga milyaran rupiah.
Hati Lasi sangat gundah mendengar ia harus “dipaksa”
menikah dengan Pak Bambung, akhirnya ia kabur dari tempat tinggalnya di Jakarta
menuju Karangsoga. Di Karangsoga, ternyata ia bertemu dengan sesepuh desa yang
bernama Eyang Mus. Eyang Mus banyak memberikan petuah-petuah kepada Lasi dalam
menghadapi cobaan hidup. Lasi bercerita pada Eyang Mus bahwa ia ingin
mengasingkan diri ke rumah pamannya di Sulawesi. Melihat hal itu, Eyang Mus
meminta Kanjat, teman semasa kecil Lasi, agar mau menemani Lasi pergi ke
Sulawesi. Namun, sebelum pergi, Eyang Mus menikahkan mereka berdua lantaran
mematuhi norma dan tradisi setempat. Alangkah bahagianya hati mereka berdua,
karena mereka sudah lama saling mencintai.
Setelah menikah, mereka pergi menggunakan kapal laut
ke Sulawesi. Dalam perjalananya, ternyata Bu Lanting menemukan mereka dengan
membawa beberapa orang polisi. Para polisi membawa paksa Lasi dengan tuduhan
pencurian kalung. Kanjat pun tidak bisa berbuat apa-apa, karena pada nyatanya
ia hanya menikah siri dengan Lasi, dan tidak dapat menunjukkan surat nikah yang
sah pada polisi.
Lasi pun dibawa ke Jakarta. Ia dibawa ke Rumah Pak
Bambung yang berada di sebelah timur Bundaran HI. Lasi meresa ada yang aneh
pada tubuhnya, di rahimya ternyata tertanam benih anak Kanjat. Ia pun senang
sekali. Lasi menelepon Kanjat dengan maksud untuk memberitahu berita tersebut.
Mendengar itu, Kanjat senang sekali, ia ingin segera menyelamatkan Lasi. Namun
Lasi berkata pada Kanjat bahwa ia dibawah penjagaan yang ketat oleh polisi.
Lasi pun meminta Kanjat untuk bersabar, karena berdasarkan informasi dari Bu
Lanting, Pak Bambung tidak menyukai perempuan hamil. Jadi, cepat atau lambat,
Lasi pasti akan dibuang oleh Pak Bambung –demikian pikir Lasi-.
Selang beberapa bulan kemudian, Kanjat mendengar
berita dari surat kabar dan televisi bahwa Pak Bambung ditahan oleh kepolisian
lantaran melakukan korupsi besar. Lasi pun juga ditahan lantaran ia dimintai
keterangan perihal kasus tersebut. Mendengar berita tersebut, Kanjat langsung
pergi ke Jakarta ditemani Pardi, sopirnya. Ia langsung pergi ke pengacara
Blakasuta yang merupakan teman sekolah Kanjat. Ia ingin meminta bantuan hukum
pada pengacara tersebut. Akhirnya, dengan bantuan Blakasuta, Lasi bisa bebas
dari penahanan dan ia dapat hidup di Karangsiga kembali bersama Kanjat.
8. Riwayat
Hidup Pengarang
Ahmad
Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang,
Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 66 tahun) adalah sastrawan
Indonesia. Ia
menamatkan SMA di Purwokerto. Namun, ia pernah mengenyam bangku
kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas
Jenderal Soedirman,
Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas
Jenderal Soedirman
(1975-1976).
Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf
redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga dan majalah Amanah,
semuanya di Jakarta. Dalam karier kepengarangannya, penulis yang berlatar
kehidupan pesantren ini telah melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek.
Beberapa karya fiksinya antara lain trilogi ''Ronggeng Dukuh Paruk'' telah terbit dalam edisi Jepang, Jerman, Belanda dan Inggris. Tahun 1990 pengarang yang punya hobi mancing ini mengikuti
International Writing Programme di Iowa
City, Amerika Serikat dan memperoleh penghargaan The Fellow of The University
of Iowa.
Penghargaan
Cerpennya berjudul Jasa-jasa buat Sanwirya mendapat
Hadiah Hiburan Sayembara Kincir Emas 1975 yang diselenggarakan Radio Nederlands
Wereldomroep. Novelnya Kubah (1980) memenangkan hadiah Yayasan Buku
Utama tahun 1980. Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dini
Hari (1985), Jentera Bianglala (1986) meraih hadiah Yayasan Buku
Utama tahun 1986. Novelnya Di Kaki Bukit Cibalak (1986) menjadi pemenang
salah satu hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1979.
Karya tulis
- Kubah (novel) (novel, 1980)
- Novel
Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (diadaptasi menjadi film tahun 2011):
- Ronggeng Dukuh
Paruk
(novel, 1982)
- Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985)
- Jantera Bianglala (novel, 1986)
- Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986)
- Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1989)
- Bekisar Merah (novel, 1993)
- Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995)
- Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000)
- Belantik
(novel, 2001)
- Orang Orang Proyek (novel, 2002)
- Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004)
- Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (novel bahasa Jawa, 2006; meraih Hadiah Sastera
Rancagé
2007
Karya-karya Ahmad Tohari telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Tionghoa, Belanda dan Jerman. Edisi bahasa Inggris Ronggeng Dukuh Paruk , Lintang Kemukus Dini Hari , Jantera
Bianglala
diterbitkan oleh Lontar Foundation dalam satu buku berjudul The
Dancer
diterjemahkan oleh Rene T.A. Lysloff.
Pada tahun 2011, trilogi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk diadaptasi menjadi sebuah film
fitur yang berjudul Sang Penari yang disutradarai Ifa Isfansyah. Film ini memenangkan 4 Piala Citra dalam Festival Film
Indonesia 2011.
0 komentar:
Posting Komentar