Dalam pengantar biografi Kurt Cobain, Heavier Than Heaven, Charles R. Cross menuliskan perjuangannya mengumpulkan ribuan dokumen, ratusan keping cakram, dan 400 wawancara vokalis grup band Nirvana itu. Hasilnya, sungguh ciamik. Ia menampilkan Cobain ke tengah pembaca seperti sutradara film tiga dimensi. Begitu hidup. Termasuk saat menggambarkan detik-detik menjelang sang legenda mengulum ujung sejata dan menghujamkan pelor ke otaknya.
Sayang, tak banyak penulis biografi kita yang memiliki kemewahan seperti itu, "Kebanyakan penulisan biografi didasarkan atas penggalian satu sumber, yaitu tokoh yang akan dibiografikan," kata Maman Gantra yang terlibat dalam penulisan 11 biografi. "Akibatnya yang keluar bukannya biografi, tapi lebih seperti otobiografi."
Itu dapat dimengerti karena buku-buku biografi yang belakangan membanjiri rak toko buku adalah pesanan sang tokoh sendiri. Akibatnya, sudut pandang sang tokoh menjadi faktor terpenting. Kalau pun ada sumber lain, itu harus seizin, atau paling tidak mendukung keinginan sang tokoh. "Biasanya cuma untuk konfirmasi sejumlah data, tapi pun tidak bisa sepenuhnya dilakukankarena keterbatasan dokumentasi sejarah disini," kata Maman.
Masih lumayan jika sang tokoh memang memiliki kisah hidup yang cukup menarik, seperti Andi Matalatta yang biografinya, Meniti Siri dan Harga Diri, ditulis oleh Maman. IA cukup mengirim pertanyaan dan sang jenderal akan mengetikkan sendiri kisah hidupnya secara lengkap dan terperinci. "Saya tinggal mengeditnya, karena kisah hidupnya memang luar biasa," kata Maman.
Tapi bandingkan dengan pengalamaan seorang penulis biografi lain yang minta namanya tak disebut, Ia mengaku sering pusing tujuh keliling karena tokohnya tidak memiliki catatan prestasi yang cukup baik, terutama di masa mudanya. "Akhirnya saya harus mengakali dengan dengan mengait-ngaitkannya dengan
sebuah peristiwa besar. Padahal dalam peristiwa itu dia cuma anak bawang," kata si penulis. Ya seperti menjejali tulisan tentang lukisan yang biasa-biasa saja dengan teori-teori seni yang fantastis.
Untungnya kerumitan itu tidak ditemui Fira Basuki saat menulis Wimar Witoelar: " Hell, Yeah!". Wimar, selain memiliki kisah hidup yang menarik, juga orang yang terbuka. Ia membebaskan Fira menjelajahi setiap jengkal kehidupannya. "Dia tidak pernah bilang off the record, tapi saya sendiri yang memilah-milah, mana yang harus masuk dan keluar dalam buku itu," kata Fira.
Fira mengaku tak mudah mencari tokoh seperti itu. "Saya harus sreg dulu, walau kesan pertama. Seperti saat Pak Wimar dulu, saya belum kenal tapi saya punya firasat proses penulisan biografi akan asyik," kata Fira.
Fira memang mengusulkan penulisan biografi itu saat baru pertama kali mengenal Wimar. Untung dia. Jika tidak, biografi itu mungkin justru tak muncul. Seperti Truman Capote yang enggan menulis tentang Mick Jagger karena mereka berdua begitu akrab. "Bagi saya, tak ada lagi misteri dalam diri Mick Jagger. Lalu apa lagi yang harus saya tulis?" kata Capote kepada Andy Warholl yang mewawancarainya tentang kegagalan penulisan biografi si dower itu.
Menguntit selama tiga bulan dilakukan agar Fira bisa mengakses sebanyak mungkin informasi dari orang-orang di sekitarnya. Mulai mantan bos (Gus Dur), sang abang (Rachmat Witolear), teman SMA (Sarwono Kusumatmadja, hingga teman yang mengomentari kegagalan diet Wimar (Ade Rai). Ada pula sopir, teman friendstet, dan creambath girl Wimar. Bukan cuma arsip Fira ang membengkak, tapi juga tubuhnya, karena ada acara makan setiap bertemu Wimar.
Pengumpulan bahan yang luar biasa ini berbuah manis. Hell Yeah! -meski bergaya renyah dan populer mampu memotret Wimar dari semua sudut. Lengkap. Termasuk penyertaan resep makanan diet dan tulisan Wimar tentang politik. Sayangnya, meski Wimar pernah berada di lingkar dalam kekuasaan tertinggi, biografi itu tidak mengungkap fakta baru, apalagi kontroversial, dalam sejarah perpolitikan Indonesia,
Sumber: Koran Tempo, 31 Januari 2007
1 komentar:
wuih mantep nich
Posting Komentar