Surat untuk Sahabat: Menanti Rona

Note: Dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Surat untuk Sahabat yang diadakan Radar Kediri, Radar Nganjuk, dan BNN Nganjuk tahun 2014

                                                                        

Dear Rona, My Livelong Playmate ...

Apa kabar kawan masa kecilku? Apakah harimu masih indah se-indah mimpi-mimpimu di kala kau beranjak sepuluh tahun? Mimpi yang pernah kau gumamkan saat bibir mungilmu meniup lilin di atas kue tart bertumpuk tiga tingkat itu? Mimpi yang dua tahun kemudian melebur bersama aspal-aspal jalanan, merenggut, dan mengubur hidup-hidup segala keindahan masa sekolahmu. Beban hidup yang kau tanggung seorang diri, memaksamu menyelami panasnya metropolitan, bergumul dengan puluhan pengais nafkah jalanan, bahkan membaringkanmu di emperan toko di kala matahari pun enggan memicingkan matanya.

Apa kabar Rona, teman bermain dan mengajiku? Apa kau masih saja bergumul dengan hitamnya pelangi yang tak menjanjikan secuil mimpi, yang hanya memberikanmu paranoid ketika kau bersamanya? Hanya pil-pil pahit ini sebab kau ingin mencari pelipur lara. Kau torehkan kulit putihmu dengan jarum suntik sebagai bagian upaya lari dari segala kelam. Mungkin jalan ini tak sepenuhnya keinginanmu, Sayang. Aku berusaha memahami. Kau tak biasa hidup dalam ke-sebatangkara-an. Kau terlahir dengan cukup indah, dengan ayah bundamu yang senantiasa mencurahkan kasih sayang. Tentu kau tak perlu banyak merengek untuk mendapatkan apa yang kau inginkan. Ingatkah saat kau membuat iri banyak temanmu ketika ayahmu membawakanmu segudang mainan? Lantas dengan senang hati kau bagikan mainan-mainan itu ke temanmu-temanmu yang tak seberuntung kamu. Sungguh mulia hatimu, Rona.

Aku tidak bermaksud mengingatkan pada hal-hal buruk dan keindahan masa lalumu. Mungkin kau akan tetap bersama kami jika rumahmu tak dilahap si jago merah yang juga telah mengepakkan sayap kedua orangtuamu terbang menuju langit-Nya. Tak usah kau sesali, Rona. Tuhan tak akan pernah membiarkanmu melewati hari dalam keheningan. Kau masih punya kami, sahabat masa kecilmu yang selalu merindukan, selepas kepergianmu dari sekolah dan kota kami.

Genap satu windu sejak kepergianmu, pernah suatu ketika aku menemui di lampu merah simpang empat, wajahmu masih cantik walau kini berbalut jelaga-jelaga jalanan. Kau mengenakan kaos hitam bertuliskan “Punk Rock” dengan rambut panjangmu yang kini sudah kau mohawk, berwarna –warni, dan berdiri kaku. Belum lagi aksesorismu semacam rantai, peniti, dan spike seakan mengukuhkanmu sebagai anak urakan dan liar. Oh tidak, bagiku kau tetap Rona-ku yang lembut dan manja.

Rona, setelah pertemuan yang tidak sengaja itu, entah mengapa angin hari ini membawa kabar yang cukup membuatku enggan tidur semalaman. Menjadi nyeri di ujung kepala hingga mata kaki sebab kumemikirkanmu. Memikirkan nasibmu di balik dinginya jeruji penjara. Memang terlihat tak adil, karena kurasa kau hanya korban dari salah pergaulan yang menjatuhkanmu ke jurang penyalahgunaan narkoba.

Kini kau berumah di sana, Kawan. Tak kan selamanya, karena kuyakin kau akan sembuh. Tapi jangan kau takut, sebab yang akan kautinggali adalah lorong panjang yang terang. Bukan lagi kegelapan yang kau temui kemarin hari. Bahkan, lorong ini seperti kau melewati tangga menuju langit yang penuh mimpi. Ingat Kawan, masa kecil kita penuh mimpi agar dewasa kelak kita tak kenal menyerah ‘tuk menggapainya. Rona-ku tentu bukan orang yang lemah, kan? Kamu telah ditempa berbagai cobaan tentu itu semua menjadikanmu lebih kuat dari banyak orang.

Rona kelak kau mengerti betapa rehabilitasi bukan penjara seperti yang selama ini kau bayangkan. Panti ini bukan hendak mengekangmu untuk berbuat kebebasan. Mereka bersamamu, memelukmu penuh cinta dan kehangatan. Inikah yang kau rindukan, Rona? Anggap bapak ibu disana sebagai orangtuamu. Anggaplah mereka sesuka hatimu. Kelak kau akan mengerti betapa kehangatan mampu mengalahkan dinginya hatimu.

Rona, jalanmu masih sangat panjang. Kau masih berhak bercita-cita jika kau mau. Kau tak perlu berkecil hati sebab masa lalumu yang tak ingin kau kenang itu. Kau masih bisa berbuat baik kepada semua orang. Oh, tak perlu kau minta maaf kepada kami. Hanya, minta maaflah pada Tuhan. Aku tahu dan engkau pun tahu bahwa Tuhan kita maha pemaaf, kan? Panjatkanlah doa pada-Nya sesuka hatimu dan Tuhan ‘tak kan lelah mendengar. Dia-lah yang maha mengabulkan.

Perlu kamu tahu, Rona. Lembaran rindu ini tentu sudah lama hanya kusimpan sebab kau begitu saja menghilang. Tapi kini, aku harap kau akan pulang dengan membawa segala Rona yang kukenal dahulu. Lanjutkanlah mimpimu, Rona. Terbangkan sayapmu yang pernah terluka. Akan kuobati bersama canda tawa kita. Seperti dahulu. Dahulu yang kita rindukan.

Dengan segala rindu, namamu teriring.

Dalam segala penantian doaku bergeming.

Sahabat yang selalu menantimu,

Amalia Safitri