Aku
tak henti-hentinya mengayuh sepeda tuaku, menyusuri terjalnya jalanan ibukota
yang disambut dengan asap tebal para mobil parlente. Arak-arakan polisi yang
mengiringi kepergian Presiden Barack Obama dari Istana Merdeka memang terdengar
seperti konvoi tujuh belas agustusan. Jalanan yang super macet membuat sepedaku
terdesak kesana kemari. Sepeda yang seharusnya sudah berada di museum ini aku
ajak berperang melawan mobil-mobil mewah, aku ajak menjadi saksi bagaimana
kerasnya kehidupan di ibukota. Memang, sepeda pemberian kakek keluaran tahun
1950 ini adalah harga mati bagiku. Ia lah yang ikut merasakan pahit getirnya
kehidupanku, panas dinginnya perasaanku, hingga hidup matiku melawan
kemiskinan.
Namaku
Marwan Ali. Teman kampungku biasa memanggilku Bang Marwan. Aku hidup dan
dilahirkan di Jakarta. Di sebuah kampung kecil. Tepatnya kampung pemulung.
Tidak ada orang yang hidup sukses di kampungku. Mereka semua pemulung. Semua
serba melarat. Mulai dari usia uzur hingga anak-anak, mereka merasakan
bagaimana pahitnya menjadi pemulung, mengais-ngais barang di tempat sampah, hingga
menjualnya ke pengulak. Itulah pemandangan di kampungku. Tidak salah jika anak-anak
kota selalu menjuluki kami dekil, kumal, jorok, dan sebagainya. Kami tidak
peduli. Toh, pekerjaan kami halal. Bukan hasil dari mencuri atau bukan dari
korupsi uang rakyat.
Bulan
Februari ini usiaku menginjak 17 tahun. Tapi, baru lima tahun lalu aku
mengenyam bangku sekolah dasar. Ya, meskipun aku pemulung, aku tak ketinggalan
dengan anak-anak kota itu. Aku juga ingin belajar. Aku juga ingin sukses
seperti orang tua mereka. Cita-citaku hanya sederhana. Aku ingin menjadi
pengusaha. Tepatnya pengusaha barang bekas. Memang terdengar aneh. Tapi itulah
kenyataanya. Aku ingin menjadi wadah bagi pemulung-pemulung agar mereka dapat
memanfaatkan barang – barang bekas yang mereka peroleh. Aku hanya ingin
pemulung-pemulung di kampungku dapat bekerja selayaknya. Dapat merasakan
bagaimana rasanya hidup jauh dari kemiskinan.
“Marwan,
badan kamu bau sekali, gak pernah mandi ya ?! Huuekk “
“Dasar
anak pemulung ! Mana punya kamar mandi. Hahaha.. “
“Dasar
dekil, kalau mau sekolah ya mandi dulu dong, malu-maluin aja ! pergi sana! Gak
pantas orang seperti kamu sekolah disini.”
Aku langsung
tersadar dari lamunanku. Anak-anak kecil itu mengolok-olokku. Mereka
mati-matian menghinaku. Aku memang paling tua di kelas ini. Aku memang
satu-satunya anak pemulung di kelas ini.
Apa salahku jika aku ikut sekolah ? Toh, aku disini juga membayar SPP,
juga memakai seragam merah putih, juga punya buku tulis, buku gambar, buku LKS.
Aku tidak pernah meminjam barang- barang mereka. Apa salahku kepada mereka ?
“Hey,
anak kota jangan semena-mena ya ! aku juga berhak sekolah”, balasku.
“Apa?
Sekolah ? bukan disini tempatmu bang, hahaha..”
“Terserah
apa kata kalian. Kalian gak berhak mengatur hidupku. Toh, aku juga gak pernah
ngatur-ngatur hidup kalian”.
“Oke
bang Marwan, kalau begitu, jangan sekali-kali meminta bantuan kami. Titik.”
“Oke,
terserah kalian !”, balasku.
Aku
bosan jika setiap hari harus meladeni ucapan-ucapan mereka. Aku tak peduli
mereka siapa. Meski mereka semua anak orang kaya, anak pejabat, anak pengusaha,
anak bos, ataupun anak konglomerat, menurutku sikap mereka tidak lebih baik
dari anak-anak pemulung di kampungku.
Pulang
sekolah, aku langsung mengganti pakaianku. Aku segera duduk di depan meja
belajarku. Aku menyobek secarik kertas dan mulai menulisinya dengan pena
hitamku. Kebiasaanku menulis surat sudah aku lakukan sejak sepuluh tahun lalu.
Sejak kedua kaki ayahku tidak berfungsi lagi untuk selamanya. Sejak ayahku tak
bisa menafkahi keluargaku lagi. Sejak ayahku terbaring lemah di ranjang
kumalnya.
Semua
tragedi itu berawal dari sebuah kecelakaan fatal. Ini semua memang takdir yang
harus kuterima. Namun, tidak semudah itu aku menerima takdir ini. Kenangan
sepuluh tahun lalu, membuka luka sukmaku. Aku pun kembali mencoba mengorek itu
semua. Aku tumpahkan musibah dan kesedihanku dalam secarik surat yang akan
kukirimkan pada seseorang. Tidak tanggung-tanggung lagi, surat itu akan
kukirimkan kepada orang nomor satu di negeri ini. Ya, kepada Pak Susilo Bambang
Yudhoyono.
Kepada
Bapak Presiden,
Bapak
Susilo Bambang Yudhoyono.
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Pak,
namaku Marwan Ali. Usiaku 17 tahun. Aku lahir dan tumbuh di Jakarta. Tepatnya
di Jalan Revolusi, gang kecil sebelah barat Masjid Al Muchsin. Nama Ayahku
Bapak Suroso. Beliau bekerja sebagai pemulung.
Aku
ingat betul. Saat itu Hari Senin tanggal 13 Januari 2002. Saat usiaku masih 6
tahun.
Pagi
itu sangat bersahabat. Tak ada firasat apapun yang aku rasakan. Ya, hari itu
hari bahagiaku, karena ayahku akan mendaftarkanku ke Sekolah Dasar Negeri
Menteng Jakarta Pusat. Saat itu aku sangat ingin sekolah. Ayahku membonceng aku
dengan sepeda bututnya. Dari raut wajahnya, tampak sekali bahwa ayahku sangat bersemangat menyekolahkanku.
Namun,
hari yang bersahabat itu tiba-tiba berubah menjadi malapetaka dan itu semua
adalah awal dari kepedihanku.
Tanpa
sepengetahuan kami, tiba-tiba dari arah belakang melaju mobil mewah berplat
merah dan bernomor polisi B 4521 JK. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi
dan sedikit oleng. Mengetahui itu, aku dan ayahku langsung merapat ke pinggir
jalan. Tak terduga, mobil itu langsung menyeruduk kami dari belakang. Aku
terlempar ke trotoar, sedangkan ayahku terbaring di pinggir jalan. Aku melihat
dengan mata kepalaku sendiri, kaki ayahku terlindas ban mobil itu.
Namun,
yang paling menggenaskan, orang yang menabrak ayahku tidak mau bertanggung
jawab. Ia lari begitu saja.
Aku
tahu pak, yang menabrak ayahku adalah seorang pejabat. Ia memakai jas hitam dan
plat merah itu menandakan bahwa ia bukan orang sembarangan.
Aku
tidak pernah dendam kepada siapapun pak, aku hanya ingin sebuah pertanggungjawaban. Aku ingin hukum
berlaku kepada semua orang, termasuk orang pemulung seperti keluargaku. Sejak
kejadian itu, aku tidak bisa bersekolah. Ayahku tidak bisa bekerja lagi. Baru
lima tahun lalu aku bisa mengenyam bangku sekolah.
Pak
presiden yang saya hormati,
Sudah
sepuluh tahun aku kirim surat seperti ini. Namun tak kunjung ada tanggapan. Aku
hanya mohon sedikit bantuan. Tolong bantu keluarga saya. Tolong berikan kursi
roda kepada ayah saya agar beliau dapat melihat dunialuar yang sudah lama tak
ia lihat.
Terima
kasih pak.
Wassalamualaikum
wr. Wb.
Bersambung.................
0 komentar:
Posting Komentar