Dahulu kala, ditengah hutan lebat hiduplah sekelompok penyamun, yang
dikepalai oleh Medasing. Medasing mempunyai
lima anak buah, yaitu Amat, Sohan, Tusin, Sanip, dan Samad. Mereka semua
besar dan kuat. Penyamun – penyamun itu bekerja merampok, membunuh, hingga
terkadang membakar rumah orang yang disamun.
Suatu ketika, mereka berencana menyamun saudagar bernama Haji Sahak. Beliau baru saja menjual
tiga puluh kerbau milik warga desa. Malam harinya, sekelompok penyamun beraksi
dengan memasuki rumah Haji Sahak. Ketika Haji Sahak terbangun, Medasing
menembuskan mata tombak di dadanya. Setelah dipastikan tewas, mereka mengambil
seluruh hartanya, lalu membakar rumahnya. Saat itu, di dalam rumah masih ada
Nyi Haji Andun yang tengah pingsan dan Sayu yang tengah ketakutan. Mereka
adalah istri dan anak Haji Sahak. Karena
kecantikan Sayu,Medasing terpesona dan membawanya ke hutan.
Setelah setahun, jumlah anak buah Medasing semakin
berkurang karena mati. Saat itu, tinggallah Sayu dan Medasing yang sedang sakit.
Semakin hari, persediaan makanan semakin berkurang. Sayu dan Medasing pergi ke
dusun tempat sayu tinggal dahulu, karena mereka takut mati kelaparan di hutan.
Dengan tidak sabar, Sayu segera menemui ibunya yang sedang sakit pa rah
memikirkan nasibnya. Setelah sampai,
ternyata ibunya sedang sakaratul maut dan akhirnya meninggal dunia.
Melihat itu, sayu sangat sedih dan menangis meratapi ibunya yang sudah
meninggal.
Lima belas tahun kemudian, keadaan telah berubah. Sayu dan
Medasing menjadi suami istri dan orang terpandang di dusunnya. Mereka pun sudah
dikarunia dua anak. Selain itu, mereka baru saja melaksanakan ibadah haji di
Makkah. Maka, Lengkap lah sudah kebahagiaan keluarga Medasing.
Dari cerita di atas, amanat yang dapat diambil adalah,
bahwa peneritaan tidak akan datang selamanya, maka kita harus sabar, tawakal
dan tetap berusaha untuk memperoleh kebahagiaan. Meskipun banyak dosa dan
kesalahan kita, tidak ada kata terlambat untu bertobat selama masih ada
kesempatan
0 komentar:
Posting Komentar