Fajar menyingsing sinarnya di balik kaki Merapi. Suryanya menebarkan
kehangatan dan aroma pagi di penjuru Yogyakarta. Kehangatan sinarnya meletupkan
semangat pagi bagi penduduk desa Kabupaten Sleman kala itu. Penduduk desa ini
memang terkenal dengan ketekunannya bekerja. Ya, meskipun dua tahun lalu desa yang
menjadi sumber kehidupan ini porak poranda diterjang Merapi. Namun, mereka mampu
bangkit dan bersama-sama merintis kembali desa yang menjadi tanah air leluhur
mereka.
Tak pernah terbayangkan dalam benakku. Aku dapat menghirup
kembali suasana Yogyakarta. Meski keadaan tak lagi seperti dulu, aku sangat
bersyukur Allah masih memberi kesempatan untuk berada di tengah keluarga
kecilku. Keluarga yang menjadi hidup matiku. Keluarga lah yang menjadi nakhkodaku
dalam mengarungi kehidupan yang maha luas. Merekalah yang menuntunku untuk meninggalkan
Yogyakarta, namun mereka pula yang melangkahkan kakiku untuk kembali ke
Yogyakarta.
Tujuh tahun lalu, 23 Oktober 2005.
“La, minggu depan pergilah ke pondok
pesantren kakekmu di Kediri. Timbalah
ilmu agama disana. “
Perkataan Abah membuatku terperanjat. Pembicaraan ringan
kala itu berubah bagai petir di siang bolong. Seakan menghanguskan impianku
yang sudah lama aku bangun. Setengah tak percaya, Abah yang selama ini
mendukung cita-citaku menjadi dokter malah mengirimkanku ke Pondok Pesantren.
Apa maksud Abah ??
“Abah kan sudah janji sama Laila. Kalau Laila lulus SMA
dengan nilai baik, Abah akan mengirim Laila ke Fakultas Kedokteran. Abah lupa
ya?”. Perkataanku seakan-akan mengais memory Abah waktu itu. Mungkin
Abah lupa dengan janjinya. Aku yakin Abah tidak akan mengecewakanku.
“Abah gak lupa La. Kakekmu menyuruh kamu mondok,
biar kamu bisa jadi guru agama. Kamu mau kan,
La?”
“Tapi Abah kan sudah janji sama Laila”, ujarku setengah
merengek.
“Tapi La, ini juga demi kebaikanmu.
Jadi guru itu barokah. Guru agama itu pekerjaan yang sangat mulia”
“Bah, dokter itu juga pekerjaan mulia”, aku berkata setengah membantah.
“Iya La, Abah tahu. Kamu ini anak
sulung Abah La, kamu jugalah yang harus memberikan pondasi bagi kelangsungan
pondok kakekmu”
Aku tak bisa melawan kata-kata Abah lagi. Aku tak mengerti
mengapa Abah menjadi sangat otoriter. Abah tidak seperti biasanya. Aku berharap
Umi tidak akan setuju dengan keputusan Abah. Ya, hanya Umi lah yang dapat aku harapkan..
“Udah La, trima saja keputusan
abahmu itu. Toh itu juga demi kebaikanmu juga kan. Di desa ini sedikit yang jadi guru agama. Apalagi guru agama
perempuan. Bisa dihitung jari La, kamu lihat di desa ini. Sebagian besar
penduduknya buruh dan petani. Kamu lihat ustadzah-uztadzah yang mengajar di
TPA. Mereka tak lebih dari lima orang, La. Sedangkan anak muridnya sudah lebih
dari seratus.”
Perkataan Umi meneteskan air mataku.
Umi juga tak seperti biasanya. Umi berubah. Abah juga berubah. Bagiku, keputusan
Abah dan Umi tak bisa diganggu gugat. Prinsipku, ridho Allah adalah ridho orang
tua.
“Umi, kalaupun Laila harus mondok,
apakah Laila harus memupuskan impian Laila menjadi dokter?”
“Maafkan Abah dan Umi La. Tapi
percayalah La, terkadang apa yang tidak kita inginkan itu bisa menjadi yang
terbaik buat kita. Ini adalah bagian dari kewajiban abah dan umi untuk mendidik kamu. Selain itu, ini amanat kakekmu. Tolong La,
penuhi amanat kakekmu. Umi tahu, Laila adalah
anak yang sholehah dan berbakti. Umi
tidak ingin Laila menjadi anak yang pembangkang”
Aku tak menyangka Umi juga meneteskan air
matanya. Aku merasa bersalah telah melawan kata-kata Abah dan Umi. Aku menyesal
telah melakukan semua itu. Aku cium kening
Umi. Aku dekap erat tubuh Umi sebagai ungkapan permintaan
maafku.
“Mi, Laila bersedia dikirim ke pondok pesantren
kakek. Laila bersediia, Mi.”
Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku. Pancaran mata Umi berbinar-binar
mendengar apa yang aku katakan.
“Pikir dahulu La. Apa Laila gak bakal menyesal dengan keputusan ini ?”
“Nggak Mi, seratus
persen Laila bersedia dan gak akan menyesal. Lillahita’ala Mi”
“Alhamdulillah, terimakasih
anakku”
“Terimakasih Umi sudah
meberikan keputusan yang baik bagi Laila”
Aku dekap erat tubuh Umi. Karena aku tahu,
sesaat lagi, aku akan sangat merindukan belaian kasih sayang Umi.
Selasa, 29 Oktober 2005
Hari ini adalah lembaran
baru bagiku. Ya, tanggal 29 Oktober 2005. Sebenarnya, tanggal ini menjadi penentu bagi
calon mahasiswa kedokteran. Ya, tes fakultas kedokteran dilaksanakan hari ini.
Seharusnya aku ikut bersama calon mahasiswa lainnya. Tapi, itu semua hanya impian lalu. Sementara itu, sebentar lagi aku akan menjadi seorang santri. Santri Pondok Pesantren Al- Barokah.
Hari ini aku melangkahkan kakiku meninggalkan Yogyarta dan bersiap
melenggang menuju Kediri. Aku lihat wajah Abah, Umi, dan kedua adik kembarku,
Rafa dan Rifa. Mereka terlihat sumringah mengantar kepergianku untuk belajar di
pondok. Aku berjanji, sesampai di pondok akan ku timba ilmu agama
sebanyak-banyaknya. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan hidupku di pondok
pesantren.
“La, jaga dirimu
baik-baik ya.” Hanya sepenggal pesan itulah yang menjadi pesangonku dari abah dan Umi. Hanya sebuah
pesangon sederhana, namun amat
bermakna.
Kediri,
08 November 2005 ..
Sudah sepekan kulewati hariku di kota
tahu. Menghirup udara pesantren yang terasa menyesakkan dada. Hari-hari yang
dilumuri dengan berbagai kitab, membuatku semakin jengah. Kehidupan yang
terasingkan dengan dunia luar menambah keinginanku untuk pulang ke kampung
halaman. Terkadang, aku berpikir ingin kabur saja dari pondok. Kembali ke
kehidupanku yang normal dan menjadi mahasiswa fakultas kedokteran. Oh, sungguh
cita-cita yang lama ku idamkan.
Aku bagaikan tanaman yang tumbuh di padang
pasir. Aku selalu merasa asing di tengah keluargaku sendiri. Sejak kecil aku
hidup di desa yang jauh dari bisingnya kota. Hanya waktu lebaran sajalah aku sowan
ke rumah kakek. Rumah kakek tak seperti rumah penduduk lainnya. Itulah yang
membuatku tak enak hati. Ya, meskipun sebenarnya rumah itu adalah rumah kakekku
sendiri. Rumah kakek yang menyatu dengan pondok salafiyah itulah yang membuatku
sungkan untuk bertandang.
Kediri, 25 Oktober 2010
Setiap malam, aku menghabiskan waktuku dengan
membaca Novel karya Habiburrahman EL-Shirazy yang berjudul Bumi Cinta. Sudah
lama aku mengoleksi novel karyanya. Mulai dari Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta
Bertasbih, Takbir Cinta Zahrana, hingga novel terbarunya Diatas Sajadah Cinta. Jika
ditanya tokoh-tokoh atau synopsis novel tersebut. Dengan gamblang aku
bisa mengisahkan tiap detailnya. Aku memang pengagum berat novel karya
Habiburrahman El-Shirazy.
Ketika aku mulai larut dalam kisah novel
tersebut, tiba-tiba Kak Mulya yang menjadi Ketua Pengurus Pondok Barokah
menghampiriku. Aku tersentak kaget mendengar salam ramahnya dan langsung
kututup novel yang sudah kubaca seperampat halaman itu.
“Dek, sampeyan dipanggil mbah kyai di ndalem”
“Ada apa mbak?”, tanyaku heran.
“Ndak tahu saya dek, coba saja sampeyan
datangi. Mungkin ada yang penting”
“Enggeh, matursuwun mbak”.
Aku berjalan menuju ndalem dengan
perasaan getir. Tak biasanya kakek memanggilku malam-malam begini
kecuali ada acara keluarga yang penting. Perasaanku tak enak. “Jangan-jangan
ada kabar dari keluarga di Yogya”, pikirku dalam hati. Tapi, aku tetap berusaha berfikir positif
seperti yang selalu umi tanamkan sejak dahulu.
Aku coba menghela nafas dalam-dalam. “Tenang La,
tenang, pasti gak ada apa-apa”. Aku mulai menenangkan diriku sendiri.
“Assalamualaikum”
Aku menuju ke arah kakek yang sedang duduk-duduk
dengan Mas Sholeh. Aku melihat wajah kakek dengan pembawaan tenang. Ya, wajah
kakek masih seperti biasanya. “Berati tak ada apa-apa’’, pikirku dalam
hati.
“Waalaikumsalam, rene nduk, enek berita
penting saka Jogja”
“Wonten napa mbah? Keluarga sedaya sehat kan mbah?”
“Ngene nduk, Umimu ngabari yen Yogyakarta
lagi kena musibah. Merapi wis meletus maneh lan omahmu iku kena dampak.e”
Air mataku langsung menetes mendengar berita
buruk dari Yogyakarta. Sudah kuduga, jika Merapi meletus, maka rumahku yang
hanya berjarak sepuluh kilo dari Merapi pasti kena dampak dahsyatnya
“Tenang, Nduk, sekeluarga akan kesana malam ini
juga sama Mas Sholeh untuk memastikan keadaan Abah, umi dan adik-adikmu. Tolong
kamu berdoa untuk keselamatan mereka,
Nduk.”
Aku menangis sejadi-jadinya. Badanku sudah
kehilangan tenaga. Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Pasrah dan tawakal.
Hanya itulah sandaranku.
Setiba di pengungsian. Aku tak kuasa menahan
tangisku melihat Umi yang terbaring koma. Aku bisa merasakan, wajah Umi yang
penuh kelembutan sedang meregang nyawa di ranjang pengungsian.
“Sabar mbak, Umi pasti akan sehat. Kita
bersama-sama mendoakan Umi, Mbak”, Mas Sholeh yang sejak tadi
mendampingiku berusaha tenang dan meghiburku. Aku teringat sesuatu. Ya, abah dan kedua adik kembarku. Mereka
dimana? Mengapa mereka tak tampak di pengungsian ini?
“Mas Sholeh, Mas Sholeh, lihat abah dan
adik-adikku?”
“Belum Mbak, tadi Mbah kyai yang mencari Abah.
Bentar ya mbak, coba saya telepon mbah dulu”
“Iya Mas”
Sayup-sayup ku dengar percakapan Mas Sholeh
dengan kakek. Aku tak mengerti pembicaraan mereka. Yang jelas, raut wajah Mas
Sholeh berubah menjadi sedih dan seperti orang yang kehabisan semangat.
“Mas ada berita dari kakek?” tanyaku keheranan.
Mas Sholeh hanya menjawab dengan tundukan lesu.
“Mas, ada apa?” kuulangi lagi pertanyaanku. “Mbak Laila yang sabar nggeh,
Abah dan kedua adik mbak turut jadi korban Merapi dan mereka sudah
dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. “Innalillahi wainnailaihi raji’un”. Aku
terbaring lemas menerima berita dari Mas Sholeh. Aku seakan tak kuasa menerima
takdir ini.
Mas Sholeh yang sudah lima tahun mengabdi di
pondok kakek dan menjadi orang kepercayaan Kakek dengan setia menemaniku
merawat Umi. Sudah sebulan ini, Mas Sholeh diutus kakek tinggal di
Yogyakarta untuk sekadar menemaniku merawat Umi. Mungkin, keadaan Umi yang
masih labil membuat Mas Sholeh tak tega untuk meninggalkannya.
Di tengah menunggu Umi, aku menyempatkan diri
untuk berbicara dengan Mas Sholeh.
“Mas Sholeh ?? “
“Enggeh mbak Laila, ada yang perlu
dibantu?”
“Enggak kok mas, saya mau berbicara saja
dengan Mas Sholeh. Soal Umi, Mas.”
“Enggeh mbak, bagaimana keadaan Umi
sekarang?’’
“Umi masih belum sadarkan diri, tapi tenang
saja. Sudah ada perkembangan. Hmm, Mas Sholeh nggak ingin balik
ke Kediri?”
“Mas Sholeh akan balik kalau keadaan keluargane
sampeyan sudah kondusif. Apa Mbak Laila nggak ingin ke Kediri saja
tinggal bersama Mbah Kyai atau melanjutkan belajar di pondok?”
“Nggak mas, dulu saya berangkat ke Kediri
atas permintaan Abah dan Umi. Abah dan Umi bercita-cita agar Laila jadi guru
agama. Sekarang Laila sudah lima tahun belajar di pondok. Laila sekaran ingin mengabdi
di kampong halaman Laila. Menjadi guru agama dan merawat Umi, Mas.”
“Ya sudah, jika itu memang inginnya Laila.
Semoga ini menjadi pilihan terbaik.”
“Aamin”
Seketka itu, Mas Sholeh tersenyum dan menatapku
dengan tajam, aku tak tahu apa yang ada di fikiran Mas Sholeh. Aku jadi tak
enak hati dan segera mengalihkan pandangan.
“Mbak Laila, saya ingin bicara penting dengan sampeyan”
“Iya, ada apa Mas?”
“Saya nggak tahu perasaan ini apa namanya.
Yang jelas, saya tidak bisa berhenti memikirkan Mbak Laila“
“Astagfirullahaladzim, jangan Mas. Selama
kita bukan muhrim. Jangan memikirkan yang tidak-tidak terhadap lawan jenis.”
“Maaf Mbak Laila, tapi saya berjanji nggak akan
berbuat macam-macan dengan Mbak Laila. Saya hanya ingin ….. “
“Ingin apa, Mas?”
“Ingin agar Mbak Laila mau menikah dengan saya”
“Jangan berpikiran terlalu jauh, Mas”
“Tapi, saya serius, Mbak”
“Simpan saja rasa itu. Jikalau kita jodoh pasti
kita akan dipertemukan oleh Allah”
Aku langsung beranjak dari tempat dudukku,
meninggalkan Mas Sholeh, dan menghampiri Umi. Perkataan Mas Sholeh terus
membekas. Mas Sholeh yang selama ini ku pandang alim dan tidak neko-neko ternyata
bisa berbicara seperti itu.
Dua bulan berlalu dari peristiwa nahas Merapi, aku mulai
menata diri. Umi sudah sadar dari komanya dan sudah bisa menerima kenyataan
yang menimpa keluarga kami. Hidupku sekarang kufokuskan dengan mengajar ngaji
anak-anak korban Merapi. Ini adalah bagian cita-cita Abah dan Umi. Aku bangga
untuk menjalaninnya. Aku tak mengharapkan apa-apa dari semua ini. Kecuali ridho
Allah.
Belakangan ini, fikiranku disibukkan dengan fikiran yang tak
tentu arah. Aku tak tahu apa ini namanya. Aku mulai memfikirkan Mas Sholeh.
Kata-kata Mas Sholeh dahulu membekas di hatiku. Aku merasa ada yang hilang saat
ia kembali ke Kediri. Diam-diam aku mulai merasakan kerinduan.
Aku menulis surat kepada Mas Sholeh. Waktu demi waktu
berlalu, Mas Sholeh tak kunjung membalasnya. Suatu saat Mas Sholeh membalas,
aku tak sabar untuk segera membaca surat itu. Perlahan aku baca surat itu, Kata
demi kata aku resapi. Air mataku mulai menetes ketika surat Mas Sholeh
mengatakan “AKU AKAN SEGERA MENIKAH DENGAN GADIS PILIHAN KAKEK DAN AKU TAK BISA
MENOLAKNYA”.
Hatiku serasa runtuh meratapi tulisan surat Mas Sholeh. Penantianku
ternyata hanya berbuah kepahitan. Dan aku hanya bisa menitipkan kerinduanku
yang sudah memuncak ini. Mas Sholeh, aku merindukan sosokmu.
0 komentar:
Posting Komentar