»

Laman

Jumat, 24 Januari 2014

Hilangnya Tiga Kembar



Semesta tak lagi berpihak padamu,
Langit hendak meruntuhkan inginmu,
Dunia menampar lagi takdirmu,
Kemana hendak kau lari?
Akulah satu-satunya tempatmu kembali.
*
Aku menulis lagi di lembaran kosong buku hijauku. Sudah ratusan kata aku hapus percuma. Entah pikiran apa yang kini menggelayutiku. Jam tua sudah berdentang dua belas kali, tapi inspirasi semakin kabur, seolah aku benar-benar tidak ditakdirkan untuk menulis malam ini.
Aku hanya terpaku menatapi buku hijau. Buku pemberian ayah yang dia beri sebelum ia pergi tanpa pamit. Hanya meninggalkan hutang dan aib keluarga. Sedangkan ibuku harus menanggung biaya hidup kami bertiga, bekerja paruh waktu di rumah juragan Fatkhurrahman. Juragan beras terkenal dari Kadipura ini memang sangat baik, ia menanggung seluruh biaya sekolah kami bertiga. Namun sifatnya yang genit ini terkadang membuatku iba kepada ibu. Bagaimana tidak, ibuku yang masih cantik dan segar kerapkali digoda untuk dijadikan istri keenam-nya. Ah, dasar kau lelaki, tak ada bedanya dengan ayahku!
“Amel, kok kamu belum tidur to, Nduk? Lagi ngerjain apa?” suara ibu membuatku terperanjat dan lekas kututup buku hijau pemberian ayah.
“A ... A ... nggak, Bu, aku lagi insomnia aja,” aku gugup membuat jawaban bohong. Sebenarnya aku hendak membuat proyek lomba menulis cerpen di sekolah.
“Tumben insomnia, biasanya kamu cepat banget molornya, Nduk,” seperti kebiasaan ibu sebelumnya, ia memang suka menyindir.
“Aduh, ibu tahu aja, hehe. Lha ibu sendiri kok belum tidur? Ibu masih memikirkan perkataan Bu Tutus siang tadi, ya?”
“Tak tahu, Nak. Ibu tak tahu lagi harus berkata apa di depan istri muda juragan Fatkhur itu. Ia selalu menuduh bahwa ibulah yang suka menggoda suaminya. Ibu sudah tak enak hati bekerja di sana. Apa ibu cari kerja lain aja ya, Nduk? Tapi mencari pekerjaan itu juga nggak mudah. Ah, ibu bingung,”
“Sudah, Bu ... Ibu jangan merasa bersalah. Toh, ibu tadi sudah menjelaskan yang sebenarnya. Ibu juga sudah minta maaf dan memang tuduhan Bu Tutus itu tidak terbukti, kan? Kalau ibu tidak bekerja di juragan Fatkhur lagi, aku, Isma dan Isna harus gimana, Bu? Juragan Fatkhur kan yang membiayai sekolah kita. Sedangkan ayah ... Ah, ia sudah tidak bisa diharapkan, ia pasti sudah bersenang-senang dengan keluarga barunya,”
Hussh, jangan sering menyalahkan ayahmu, Nduk. Ayah juga manusia kan, hidup adalah pilihan, ayah berhak memilih, Nduk. Mungkin bagi ayah menceraikan ibu adalah pilihan yang menurutnya baik daripada ia harus berpura-pura mencintai ibu selamanya, betul ndak?” dan lagi-lagi jawaban ibu selalu membela ayah.
“Ikhlaskan, Nduk. Ikhlaskan ... Ibu sudah bahagia kok. Ibu tidak sendiri, ibu masih punya tiga anak kembar yang cantik, pintar, dan mempunyai hati sebening embun. Ya, ibu masih punya Amel, masih punya Isma, masih punya Isna. Nikmat Tuhan mana lagi yang mau ibu dustakan?” perkataan ibu sedikit menghiburku tapi tetap saja sulit kuterima. Aku ingin melawan garis takdir. Ibu kurang apa, Tuhan? Bukankah ia begitu baik?
Dan aku semalam ini tak bisa tidur, hanya sibuk menyeka air mata. Menangis untuk ibu dan kedua adikku, Isma dan Isna.

Mengapa Memilih Sastra Indonesia?

Kini saya sedang bingung memilih jurusan kuliah yang tepat. 'Tepat' dengan kemampuan dan minat saya. Mungkin dari beragam jurusan IPS 'agak' tertarik dengan jurusan Ilmu Komunikasi karena memang saya ingin bekerja di bidang pers. Namun, setelah saya pikir-pikir agaknya saya sedikit 'minder' dengan kemampuan dan banyaknya peminat di jurusan ilmu komunikasi. Saya pun mencoba mencari peluang jurusan yang sesuai dengan kemampuan, minat, dan peluang. Maka saya pun memutuskan memilih jurusan  "SASTRA INDONESIA". Mengapa?
  • Karena saya hobi membaca dan menulis sejak kecil. Bahkan menulis diary saya jadikan sebagai hobi.
  • Karena semakin sedikit generasi muda sekarang yang peduli akan bahasa Indonesia. Kebanyakan lebih memilih menggunakan bahasa 'slang' atau bahasa luar negeri yang berpotensi memusnahkan eksistensi bahasa Indonesia. Nah lho, kalau punah salah siapa?
  • Setelah saya teliti lagi, ternyata peluang kerja lulusan sastra Indonesia juga gak kalah keren. Setelah lulus nanti, kita bisa menjadi penulis, editor, pembuat naskah film/iklan, bekerja di Pusat Bahasa dan Penelitian, menjadi penerjemah, pemandu wisata, ahli bahasa dan lain sebagainya.
  • Dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar maka kita semua sama halnya dengan merawat warisan budaya nenek moyang kita serta mengapresiasi lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928 silam. Mulia sekali, kan?

Senin, 20 Januari 2014

Ini Imajinasiku. Apa Imajinasimu? (Cerita di Balik School Contest VII)


·         Amalia Safitri Hidayati (As a Reporter)

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan teringat ..”
Kalimat ampuh inilah yang menginspirasi saya dalam menulis. Dengan menulis, segala kenangan kita akan kembali meski jaman sudah berganti. Di sisi lain, saya bisa menumpahkan imajinasi yang terperi dalam karya yang abadi. Terkadang, saya berimajinasi bahwa kelak tulisan saya akan MENGUBAH DUNIA. Karya saya akan dikenang sepanjang masa oleh dunia. Melalui tulisan saya, dunia akan tahu bahwa sebuah karya sastra akan menggambarkan jaman yang telah berlalu.

Mengikuti Journalist Blog Competition merupakan passion saya. Motivasi saya ikut contest ini adalah untuk mewujudkan imajinasi saya menjadi seorang penulis.