»

Laman

Senin, 29 Juli 2013

Percakapan Dini Hari


Percakapan Dini Hari
Amalia Safitri Hidayati


“Kenapa tak pulang? Lihat jammu! Ini sudah dini hari”
“Kamu tahu sendiri kan, beginilah risiko pekerjaanku. Pengertian sedikitlah..”
“Aku gak mau tahu. Tolong transfer aku Rp 20 juta. Besok aku pergi ke Paris, ada acara  dengan teman-teman arisanku”
“Ha?? Ke Paris lagi? Mau ngapain lagi kamu? Tabungan kita sudah hampir habis, Sayang”
“Kamu tahu kan, aku ini wanita sosialita. Beginilah gaya hidupku. Kebutuhanku juga banyak. Sebelum kita menikah, kamu kan sudah janjii, sanggup memenuhi semua kebutuhanku. Dengan cara apa kek, kamu itu sebagai suami harus banyak akal dong!”
“Jujur, aku tak sanggup lagi menuruti gaya hidupmu yang hedonis. Selama 10 tahun kita menikah, sudah banyak cara yang aku halalkan hanya untuk memenuhi semua kebutuhan tidak pentingmu. Kurasa sudah cukup aku dikejar dosa, Sayang..”
“Hei, sejak kapan kamu ingat dosa? Kamu itu direktur, Sayang.. Tak apalah, jika kamu sedikit mengambil uang dari mereka. Itu sepadan dengan pekerjaanmu yang berat. Kamu sudah berkorban banyak waktu, meninggalkan istrimu, meninggalkan anakmu, tak pernah sedikit pun kamu menikmati hasil jerih payahmu. Apakah rakyat-rakyatmu akan pengertian dengan keluargamu? SAMA SEKALI TIDAK!”
“Masya Allah, kita sudah sering memperdebatkan masalah ini. Aku sudah terlalu banyak memakan uang rakyat. Sebenarnya, gajiku sudah sangat cukup banyak kok, asal kamu mau sedikit mengurangi kebutuhan-kebutuhan mewahmu. Belajarlah untuk hidup sederhana, Sayang. Seperti awal pertama kita menikah dulu. Jangan kau berubah hanya karena nafsumu. Kamu tetap istriku yang cantik, sekalipun kamu tidak memakai perhiasan, sekalipun kamu hanya mengenakan baju daster dan sandal jepit. Sungguh, aku merindukan kamu yang dulu, Irene.”
“Kamu tidak usah menceramahiku tentang kesederhanaan. Aku sudah berpengalaman tentang kemiskinan dan kesengsaraan. Roda kehidupan terus berputar, Sayang. Kita sudah pernah merasakan hidup di bawah dan selalu terinjak-injak. Kini saatnya kita berada di atas. Nikmatilah apa yang kamu punya sekarang! Belum tentu kita bisa hidup kaya raya selamanya. Jujur, aku sudah capek menjadi istrimu. Kamu bukan suami yang selalu ada buat istri dan anakmu”
“Irene, tolong pengertianlah.. Jangan berkata seperti itu! Aku akan berusaha menjadi suami yang baik....”
Tiiit.. Tiit.. Tiit..
“Halo?? Halo!! Irene...?”


Setelah percakapan dini hari itu, pagiku terasa gelap, siang menjadi sangat panas dan malam terasa semakin pengap. Yang dulunya aku menghirup aroma kantor yang selalu wangi, kini hanya bisa menghirup aroma jeruji besi yang hampir berkarat. Yang dulunya selalu memakai kemeja dan jas kantoran, kini hanya diberi seragam tahanan. Yang dulunya bisa makan-minum sepuasnya, kini harus menahan lapar menanti jam makan. Yang dulunya bisa suka-suka memerintah bawahan, kini harus siap-siaga disuruh apa saja. Yang dulunya bisa tidur di atas spring bed empuk berselimutkan bed cover hangat, kini hanya tidur beralaskan tikar bolong dan tak perlu repot-repot berselimut. Bagaimana tidak, tanpa selimut pun rasanya sudah panas sekali karena bedesak-desakan dengan tahanan lain. Yah, inilah aku sekarang.
Aku tak menyalahkan siapa-siapa atas nasibku. Aku tak menyalahkan ibuku yang telah melahirkan seorang koruptor seperti aku. Aku tak menyalahkan bapakku yang telah susah payah mencari hutangan demi membiayai sekolah perpajakanku. Aku tak menyalahkan guru dan dosen-dosenku yang telah berjasa meluluskan sekolahku. Aku tak menyalahkan istriku, yang suka minta apa saja yang ia mau. Bahkan, aku tak mau menyalahkan Tuhan karena Ia tak mengingatkanku untuk bertobat secepatnya. Hanya akulah yang patut disalahkan.
Aku hanyalah seorang anak dari bapak penjual koran dan ibu penjual serabi. Meski demikian, keluargaku bukanlah keluarga yang kekurangan. Kami hidup dalam kesederhanaan. Aku adalah anak bungsu yang dimanja. Tidak seperti kelima kakak perempuanku yang hanya tamatan sekolah kejuruan. Bapakku bersikeras menyekolahkanku di salah satu sekolah tinggi perpajakan di Jakarta. Bapak berharap banyak aku bisa mengubah keadaan ekonomi keluargaku, selain itu agar aku bisa menjadi warga yang berguna bagi negaraku. Tentu ini tidak mudah, selain ekonomiku yang pas-pasan untuk melanjutkan ke sekolah tinggi yang cukup bergengsi, nilai akademikku juga tidak terlalu menonjol. Melihat ambisi bapakku yang begitu besar, aku pun tak menyerah begitu saja. Aku belajar keras selama tiga tahun. Tak hanya itu, katanya, agar doa dan permohonanku bisa cepat terkabul, aku disarankan melakukan ibadah Shalat Tahajud di sepertiga malam dan rutin berpuasa Senin-Kamis. Tentu, ini semua aku lakukan agar usahaku tidak sebatas usaha yang sia-sia.
 Lulus dari Madrasah Aliyah Swasta di Banda Aceh, aku mengikuti tahap demi tahap tes masuk sekolah tinggi perpajakan. Singkat cerita, sebulan kemudian Allah SWT telah menjawab doa-doa dan usahaku. YA, AKU DITERIMA DI SEKOLAH TINGGI PERPAJAKAN DI i JAKARTA! Tak hanya itu, aku pun lolos sebagai calon mahasiswa yang mendapat beasiswa dan keringanan biaya hidup selama menempuh pendidikan di sana. Sungguh, nikmat-Mu yang mana lagi yang akan aku dustakan?
Aku pun sudah bisa menebak. Keluargaku pasti bangga sekali melihat anak laki-laki semata wayangnya berhasil memanen apa yang selama ini mereka tanam. Tak tanggung-tanggung, bapak menjual tanah warisan keluarga untuk biaya perjalananku ke Jakarta. Aku memulai perjalanan panjangku dengan menumpang chevrolet yang membawa pengulak sayur-sayuran beserta barang-barang kulakan-nya. Agar aku bisa sampai terminal tepat waktu, maka, aku harus berangkat subuh benar agar tidak ketinggalan tumpangan.
Sampai sekarang pun, aku masih terbesit percakapanku dini hari dengan bapak,  sebelum aku berangkat ke Jakarta.
“Jangan cepat puas dengan apa yang sudah kamu raih, Nak. Kamu masih muda, jalanmu masih panjang. Jangan lupakan Tuhanmu di tengah hingar-bingar ibukota. Tetap tepat waktu melaksanakan ibadahmu”
“Iya, Pak. Aku akan tetap menjadi aku yang sekarang. Tidak goyah di tengah hingar bingar ibukota”

Berbulan-bulan di ibukota, aku sadar, aku tidak harus menerima kiriman uang bulanan dari orang tuaku terus menerus. Prinsip orang tuaku, selama aku belum bekerja, maka aku berhak menerima uang bulanan dari mereka, sekalipun biaya hidupku telah ditanggung oleh pemerintah! Karena aku lelaki yang masih sehat dan masih mempunyai rasa malu, maka aku pun nekat memutuskan mencari pekerjaan sendiri meskipun saat itu mencari lowongan pekerjaan susahnya minta ampun. Prinsipku, selama masih ada kemauan, Tuhan selalu memberikan jalan. Dan ternyata prinsip itu benar! Maha Besar Tuhan, Tuhan masih berbaik hati memberi pekerjaan untukku. Sebuah perusahaan asuransi ternama menerimaku di bagian cleaning service. Jadilah aku manusia yang super sibuk. Membagi waktu antara pagi dan siang untuk kuliah dan sore sampai malam untuk bekerja.
Namun dibalik semua itu, kisah asmaraku dimulai dari sini, di perusahaan asuransi ini hatiku terkait pada seorang gadis. Irene Purnamasari nama gadis berparas manis dan berambut panjang itu. Dia gadis pembuat kopi yang lugu dan selalu malu ketika aku berusaha mendekatinya. Alhasil, aku harus berusaha ekstra-keras untuk mendapatkan hatinya. Dan Irene akhirnya menjawab bahwa dia hanya mau dinikahi lelaki yang sudah mapan dan bekerja. Mengerti kemauan Irene yang demikian, aku pun berusaha meyakinkan Irene bahwa setahun lagi aku  lulus dari sekolah dan akan bekerja di Direktorat Perpajakan.
Setahun berlalu, Irene ternyata masih menungguku!
Tak tunggu lama, aku pun meminang pujaan hatiku. Namun, satu yang masih mengganjal di hati. Keluargaku tak mungkin bisa menerima perempuan yang membiarkan rambutnya terurai dan bebas dipandang siapa saja. Namun aku tak kehilangan akal, karena kecintaanku kepada Irene, aku pun mengajak Irene jalan-jalan ke Tanah Abang agar dia bisa memilih jilbab mana yang ia suka.
YA, CARA INI BERHASIL! IRENE YANG CANTIK SEMAKIN CANTIK KETIKA IA MENUTUPI RAMBUT INDAHNYA DENGAN JILBAB! Subhanallah..
Aku pun semakin mantap mengayuh sampan mengarungi bahtera rumah tangga bersama Irene!

Berkat dedikasiku yang tinggi pada pekerjaan, di tahun-tahun awal pernikahan kami, aku sudah dipercaya menjabat sebagai kepala direktur di usia yang masih terbilang muda. Harta pun datang melimpah-ruah di keluarga kecil kami. Kami sudah bisa membeli hunian berkelas, mobil mewah, investasi dalam bentuk perhiasan-perhiasan, hingga me-naikhaji-kan orangtua kami. Gaya hidupku pun berubah 180°!
Irene pun mulai pandai memilih-milih pergaulan. Ia suka bergaul dengan ibu-ibu yang terbentuk dalam komunitas istri pejabat dan pengusaha yang kerapkali mengadakan arisan ke luar negeri. Sedikit demi sedikit, gaya hidup Irene mempengaruhi pola kerjaku. Tak jarang, Irene meminta barang ini-itu kepadaku. Demi rasa cintaku pada Irene, EVERYTHING I DO!
Meski demikian, tak jarang aku kuwalahan menghadapi sikap Irene. Namun, Irene selalu cerdas, ia selalu punya jalan alternatif menghadapi masalahnya. Entah itu jalan yang sesat atau jalan yang tidak sesat, entah itu jalan yang merugikan banyak pihak atau malah menguntungkan segelintir pihak, entah aku bakal masuk neraka atau tidak karena jalan itu. Saat itu aku benar-benar tidak peduli, aku hanya mau Irene bahagia karenaku. Sedikit demi sedikit, aku mulai berani mengambil uang rakyat, hingga aku tak tahu lagi berapa triliun yang sudah aku ambil selama 10 tahun. Sekali lagi, DEMI IRENE!
Irene pun semakin hobi menuntut ini-itu. Ia seperti anak kecil yang haus akan kemewahan dan lapar akan uang, uang, dan uang. Dan aku semakin tidak bisa mengambil uang rakyat. Karena semakin lama dan semakin sering aku mengambil, maka aku akan semakin ketahuan. Aku terus dikejar ketakutan, selain takut ketahuan, di lain sisi aku juga takut ditinggalkan Irene. Aku semakin kalut hingga puncaknya aku teringat percakapan dini hari dengan bapak. Hingga akhirnya, aku pun memutuskan berhenti mencuri. Mencuri uang rakyat. DEMI KEBAIKANKU, KEBAIKAN IRENE, DAN KEBAIKAN SEMUANYA!
Aku berusaha memberi pengertian Irene. Namun, tak  semudah membalikkan telapak tangan. Semakin Irene diberi hati, semakin ia menyakitkan hati. Ia pun sudah berani meminta cerai! Aku takut menceraikanya, karena aku masih mencintainya dan mencintai anakku. Bagaimana nasib anakku nanti jika orangtuanya bercerai hanya karena harta? Bagaimana malunya keluargaku di kampung melihat aku yang sudah terlihat sukses lantas bercerai?

Setelah percakapan dini hari itu dengan Irene, aku sudah tidak melihat wajahnya lagi. Dia tidak tampak menjengukku, dia juga tidak tampak menghadiri persidanganku. Dia membawa kabur anak kami beserta harta-harta rakyat yang sudah aku ambil. Dia meninggalkanku dalam penjara ini. Dia buron. Kabarnya dia suka menyamar. Kabarnya dia sudah operasi plastik. Kabarnya lagi, dia sudah menikah dengan lelaki di luar negeri sana. Dan sebagus apapun dia berubah.. dia tetap Irene-ku.  Irene si pembuat kopi berparas manis yang lugu..
 Irene, my last love and my lost love..

1 komentar:

Anonim mengatakan...

nice. . :)

Posting Komentar