»

Laman

Sabtu, 16 Juni 2012

Kursi Roda Pak Presiden


Aku tak henti-hentinya mengayuh sepeda tuaku, menyusuri terjalnya jalanan ibukota yang disambut dengan asap tebal para mobil parlente. Arak-arakan polisi yang mengiringi kepergian Presiden Barack Obama dari Istana Merdeka memang terdengar seperti konvoi tujuh belas agustusan. Jalanan yang super macet membuat sepedaku terdesak kesana kemari. Sepeda yang seharusnya sudah berada di museum ini aku ajak berperang melawan mobil-mobil mewah, aku ajak menjadi saksi bagaimana kerasnya kehidupan di ibukota. Memang, sepeda pemberian kakek keluaran tahun 1950 ini adalah harga mati bagiku. Ia lah yang ikut merasakan pahit getirnya kehidupanku, panas dinginnya perasaanku, hingga hidup matiku melawan kemiskinan.

Namaku Marwan Ali. Teman kampungku biasa memanggilku Bang Marwan. Aku hidup dan dilahirkan di Jakarta. Di sebuah kampung kecil. Tepatnya kampung pemulung. Tidak ada orang yang hidup sukses di kampungku. Mereka semua pemulung. Semua serba melarat. Mulai dari usia uzur hingga anak-anak, mereka merasakan bagaimana pahitnya menjadi pemulung, mengais-ngais barang di tempat sampah, hingga menjualnya ke pengulak. Itulah pemandangan di kampungku. Tidak salah jika anak-anak kota selalu menjuluki kami dekil, kumal, jorok, dan sebagainya. Kami tidak peduli. Toh, pekerjaan kami halal. Bukan hasil dari mencuri atau bukan dari korupsi uang rakyat.


Bulan Februari ini usiaku menginjak 17 tahun. Tapi, baru lima tahun lalu aku mengenyam bangku sekolah dasar. Ya, meskipun aku pemulung, aku tak ketinggalan dengan anak-anak kota itu. Aku juga ingin belajar. Aku juga ingin sukses seperti orang tua mereka. Cita-citaku hanya sederhana. Aku ingin menjadi pengusaha. Tepatnya pengusaha barang bekas. Memang terdengar aneh. Tapi itulah kenyataanya. Aku ingin menjadi wadah bagi pemulung-pemulung agar mereka dapat memanfaatkan barang – barang bekas yang mereka peroleh. Aku hanya ingin pemulung-pemulung di kampungku dapat bekerja selayaknya. Dapat merasakan bagaimana rasanya hidup jauh dari kemiskinan.

“Marwan, badan kamu bau sekali, gak pernah mandi ya ?! Huuekk

“Dasar anak pemulung ! Mana punya kamar mandi. Hahaha.. “

“Dasar dekil, kalau mau sekolah ya mandi dulu dong, malu-maluin aja ! pergi sana! Gak pantas orang seperti kamu sekolah disini.”

Aku langsung tersadar dari lamunanku. Anak-anak kecil itu mengolok-olokku. Mereka mati-matian menghinaku. Aku memang paling tua di kelas ini. Aku memang satu-satunya anak pemulung di kelas ini.  Apa salahku jika aku ikut sekolah ? Toh, aku disini juga membayar SPP, juga memakai seragam merah putih, juga punya buku tulis, buku gambar, buku LKS. Aku tidak pernah meminjam barang- barang mereka. Apa salahku kepada mereka ?

“Hey, anak kota jangan semena-mena ya ! aku juga berhak  sekolah”, balasku.
“Apa? Sekolah ? bukan disini tempatmu bang, hahaha..”

“Terserah apa kata kalian. Kalian gak berhak mengatur hidupku. Toh, aku juga gak pernah ngatur-ngatur hidup kalian”.

“Oke bang Marwan, kalau begitu, jangan sekali-kali meminta bantuan kami. Titik.”

“Oke, terserah kalian !”, balasku.

Aku bosan jika setiap hari harus meladeni ucapan-ucapan mereka. Aku tak peduli mereka siapa. Meski mereka semua anak orang kaya, anak pejabat, anak pengusaha, anak bos, ataupun anak konglomerat, menurutku sikap mereka tidak lebih baik dari anak-anak pemulung di kampungku.
 

Pulang sekolah, aku langsung mengganti pakaianku. Aku segera duduk di depan meja belajarku. Aku menyobek secarik kertas dan mulai menulisinya dengan pena hitamku. Kebiasaanku menulis surat sudah aku lakukan sejak sepuluh tahun lalu. Sejak kedua kaki ayahku tidak berfungsi lagi untuk selamanya. Sejak ayahku tak bisa menafkahi keluargaku lagi. Sejak ayahku terbaring lemah di ranjang kumalnya.

Semua tragedi itu berawal dari sebuah kecelakaan fatal. Ini semua memang takdir yang harus kuterima. Namun, tidak semudah itu aku menerima takdir ini. Kenangan sepuluh tahun lalu, membuka luka sukmaku. Aku pun kembali mencoba mengorek itu semua. Aku tumpahkan musibah dan kesedihanku dalam secarik surat yang akan kukirimkan pada seseorang. Tidak tanggung-tanggung lagi, surat itu akan kukirimkan kepada orang nomor satu di negeri ini. Ya, kepada Pak Susilo Bambang Yudhoyono.


Kepada Bapak Presiden,

Bapak Susilo Bambang Yudhoyono.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Pak, namaku Marwan Ali. Usiaku 17 tahun. Aku lahir dan tumbuh di Jakarta. Tepatnya di Jalan Revolusi, gang kecil sebelah barat Masjid Al Muchsin. Nama Ayahku Bapak Suroso. Beliau bekerja sebagai pemulung.

Aku ingat betul. Saat itu Hari Senin tanggal 13 Januari 2002. Saat usiaku masih 6 tahun.
Pagi itu sangat bersahabat. Tak ada firasat apapun yang aku rasakan. Ya, hari itu hari bahagiaku, karena ayahku akan mendaftarkanku ke Sekolah Dasar Negeri Menteng Jakarta Pusat. Saat itu aku sangat ingin sekolah. Ayahku membonceng aku dengan sepeda bututnya. Dari raut wajahnya, tampak sekali bahwa ayahku  sangat bersemangat  menyekolahkanku.

Namun, hari yang bersahabat itu tiba-tiba berubah menjadi malapetaka dan itu semua adalah awal dari kepedihanku.

Tanpa sepengetahuan kami, tiba-tiba dari arah belakang melaju mobil mewah berplat merah dan bernomor polisi B 4521 JK. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi dan sedikit oleng. Mengetahui itu, aku dan ayahku langsung merapat ke pinggir jalan. Tak terduga, mobil itu langsung menyeruduk kami dari belakang. Aku terlempar ke trotoar, sedangkan ayahku terbaring di pinggir jalan. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kaki ayahku terlindas ban mobil itu.

Namun, yang paling menggenaskan, orang yang menabrak ayahku tidak mau bertanggung jawab. Ia lari begitu saja.

Aku tahu pak, yang menabrak ayahku adalah seorang pejabat. Ia memakai jas hitam dan plat merah itu menandakan bahwa ia bukan orang sembarangan.

Aku tidak pernah dendam kepada siapapun pak, aku hanya ingin  sebuah pertanggungjawaban. Aku ingin hukum berlaku kepada semua orang, termasuk orang pemulung seperti keluargaku. Sejak kejadian itu, aku tidak bisa bersekolah. Ayahku tidak bisa bekerja lagi. Baru lima tahun lalu aku bisa mengenyam bangku sekolah.

Pak presiden yang saya hormati,

Sudah sepuluh tahun aku kirim surat seperti ini. Namun tak kunjung ada tanggapan. Aku hanya mohon sedikit bantuan. Tolong bantu keluarga saya. Tolong berikan kursi roda kepada ayah saya agar beliau dapat melihat dunialuar yang sudah lama tak ia lihat.

Terima kasih pak.

Wassalamualaikum wr. Wb.

Bersambung.................

0 komentar:

Posting Komentar