»

Laman

Sabtu, 16 Juni 2012

Titipan Rindu Seorang Santri

Fajar menyingsing sinarnya di balik kaki Merapi. Suryanya menebarkan kehangatan dan aroma pagi di penjuru Yogyakarta. Kehangatan sinarnya meletupkan semangat pagi bagi penduduk desa Kabupaten Sleman kala itu. Penduduk desa ini memang terkenal dengan ketekunannya bekerja. Ya, meskipun dua tahun lalu desa yang menjadi sumber kehidupan ini porak poranda diterjang Merapi. Namun, mereka mampu bangkit dan bersama-sama merintis kembali desa yang menjadi tanah air leluhur mereka.

Tak pernah terbayangkan dalam benakku. Aku dapat menghirup kembali suasana Yogyakarta. Meski keadaan tak lagi seperti dulu, aku sangat bersyukur Allah masih memberi kesempatan untuk berada di tengah keluarga kecilku. Keluarga yang menjadi hidup matiku. Keluarga lah yang menjadi nakhkodaku dalam mengarungi kehidupan yang maha luas. Merekalah  yang menuntunku untuk meninggalkan Yogyakarta, namun mereka pula yang melangkahkan kakiku untuk kembali ke Yogyakarta.

 

Tujuh tahun lalu, 23 Oktober 2005.

“La, minggu depan pergilah ke pondok pesantren kakekmu di Kediri. Timbalah ilmu agama disana. “
Perkataan Abah membuatku terperanjat. Pembicaraan ringan kala itu berubah bagai petir di siang bolong. Seakan menghanguskan impianku yang sudah lama aku bangun. Setengah tak percaya, Abah yang selama ini mendukung cita-citaku menjadi dokter malah mengirimkanku ke Pondok Pesantren. Apa maksud Abah ??


“Abah kan sudah janji sama Laila. Kalau Laila lulus SMA dengan nilai baik, Abah akan mengirim Laila ke Fakultas Kedokteran. Abah lupa ya?”. Perkataanku seakan-akan mengais memory Abah waktu itu. Mungkin Abah lupa dengan janjinya. Aku yakin Abah tidak akan mengecewakanku.

“Abah gak lupa La. Kakekmu menyuruh kamu mondok, biar kamu bisa jadi guru agama. Kamu mau kan, La?”
“Tapi Abah kan sudah janji sama Laila”, ujarku setengah merengek.
“Tapi La, ini juga demi kebaikanmu. Jadi guru itu barokah. Guru agama itu pekerjaan yang sangat mulia”
“Bah, dokter itu juga pekerjaan mulia”, aku berkata setengah membantah.
“Iya La, Abah tahu. Kamu ini anak sulung Abah La, kamu jugalah yang harus memberikan pondasi bagi kelangsungan pondok kakekmu”

Aku tak bisa melawan kata-kata Abah lagi. Aku tak mengerti mengapa Abah menjadi sangat otoriter. Abah tidak seperti biasanya. Aku berharap Umi tidak akan setuju dengan keputusan Abah. Ya, hanya Umi lah yang dapat aku harapkan..



“Udah La, trima saja keputusan abahmu itu. Toh itu juga demi kebaikanmu juga kan. Di desa ini sedikit  yang jadi guru agama. Apalagi guru agama perempuan. Bisa dihitung jari La, kamu lihat di desa ini. Sebagian besar penduduknya buruh dan petani. Kamu lihat ustadzah-uztadzah yang mengajar di TPA. Mereka tak lebih dari lima orang, La. Sedangkan anak muridnya sudah lebih dari seratus.”

Perkataan Umi meneteskan air mataku. Umi juga tak seperti biasanya. Umi berubah. Abah juga berubah. Bagiku, keputusan Abah dan Umi tak bisa diganggu gugat. Prinsipku, ridho Allah adalah ridho orang tua.

“Umi, kalaupun Laila harus mondok, apakah Laila harus memupuskan impian Laila menjadi dokter?”
“Maafkan Abah dan Umi La. Tapi percayalah La, terkadang apa yang tidak kita inginkan itu bisa menjadi yang terbaik buat kita. Ini adalah bagian dari kewajiban abah dan umi untuk mendidik kamu. Selain itu, ini amanat kakekmu. Tolong La, penuhi amanat kakekmu. Umi tahu, Laila adalah anak yang sholehah dan berbakti. Umi tidak ingin Laila menjadi anak yang pembangkang”

Aku tak menyangka Umi juga meneteskan air matanya. Aku merasa bersalah telah melawan kata-kata Abah dan Umi. Aku menyesal telah melakukan semua itu. Aku cium kening Umi. Aku dekap erat tubuh Umi sebagai ungkapan permintaan maafku.




“Mi, Laila bersedia dikirim ke pondok pesantren kakek. Laila bersediia, Mi.”
Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku. Pancaran mata Umi berbinar-binar mendengar apa yang aku katakan.
Pikir dahulu La. Apa Laila gak bakal menyesal dengan keputusan ini ?”
“Nggak Mi, seratus persen Laila bersedia dan gak akan menyesal. Lillahita’ala Mi”
“Alhamdulillah, terimakasih anakku”
“Terimakasih Umi sudah meberikan keputusan yang baik bagi Laila”
Aku dekap erat tubuh Umi. Karena aku tahu, sesaat lagi, aku akan sangat merindukan belaian kasih sayang Umi.


Selasa, 29 Oktober 2005

Hari ini adalah lembaran baru bagiku. Ya, tanggal 29 Oktober 2005. Sebenarnya, tanggal ini menjadi penentu bagi calon mahasiswa kedokteran. Ya, tes fakultas kedokteran dilaksanakan hari ini. Seharusnya aku ikut bersama calon mahasiswa lainnya. Tapi, itu semua hanya impian lalu. Sementara itu, sebentar lagi aku akan menjadi seorang santri. Santri Pondok Pesantren Al- Barokah.

Hari ini aku melangkahkan kakiku meninggalkan Yogyarta dan bersiap melenggang menuju Kediri. Aku lihat wajah Abah, Umi, dan kedua adik kembarku, Rafa dan Rifa. Mereka terlihat sumringah mengantar kepergianku untuk belajar di pondok. Aku berjanji, sesampai di pondok akan ku timba ilmu agama sebanyak-banyaknya. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan hidupku di pondok pesantren.

“La, jaga dirimu baik-baik ya.” Hanya sepenggal pesan itulah yang menjadi pesangonku dari abah dan Umi. Hanya sebuah pesangon sederhana, namun amat bermakna.

Kediri, 08 November 2005  ..

Sudah sepekan kulewati hariku di kota tahu. Menghirup udara pesantren yang terasa menyesakkan dada. Hari-hari yang dilumuri dengan berbagai kitab, membuatku semakin jengah. Kehidupan yang terasingkan dengan dunia luar menambah keinginanku untuk pulang ke kampung halaman. Terkadang, aku berpikir ingin kabur saja dari pondok. Kembali ke kehidupanku yang normal dan menjadi mahasiswa fakultas kedokteran. Oh, sungguh cita-cita yang lama ku idamkan.

Aku bagaikan tanaman yang tumbuh di padang pasir. Aku selalu merasa asing di tengah keluargaku sendiri. Sejak kecil aku hidup di desa yang jauh dari bisingnya kota. Hanya waktu lebaran sajalah aku sowan ke rumah kakek. Rumah kakek tak seperti rumah penduduk lainnya. Itulah yang membuatku tak enak hati. Ya, meskipun sebenarnya rumah itu adalah rumah kakekku sendiri. Rumah kakek yang menyatu dengan pondok salafiyah itulah yang membuatku sungkan untuk bertandang.



Kediri, 25 Oktober 2010

Setiap malam, aku menghabiskan waktuku dengan membaca Novel karya Habiburrahman EL-Shirazy yang berjudul Bumi Cinta. Sudah lama aku mengoleksi novel karyanya. Mulai dari Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Takbir Cinta Zahrana, hingga novel terbarunya Diatas Sajadah Cinta. Jika ditanya tokoh-tokoh atau synopsis novel tersebut. Dengan gamblang aku bisa mengisahkan tiap detailnya. Aku memang pengagum berat novel karya Habiburrahman El-Shirazy.

Ketika aku mulai larut dalam kisah novel tersebut, tiba-tiba Kak Mulya yang menjadi Ketua Pengurus Pondok Barokah menghampiriku. Aku tersentak kaget mendengar salam ramahnya dan langsung kututup novel yang sudah kubaca seperampat halaman itu.

“Dek, sampeyan dipanggil mbah kyai di ndalem
“Ada apa mbak?”, tanyaku heran.
“Ndak tahu saya dek, coba saja sampeyan datangi. Mungkin ada yang penting”
“Enggeh, matursuwun mbak”.

Aku berjalan menuju ndalem dengan perasaan getir. Tak biasanya kakek memanggilku malam-malam begini kecuali ada acara keluarga yang penting. Perasaanku tak enak. “Jangan-jangan ada kabar dari keluarga di Yogya”, pikirku dalam hati.  Tapi, aku tetap berusaha berfikir positif seperti yang selalu umi tanamkan sejak dahulu.

Aku coba menghela nafas dalam-dalam. “Tenang La, tenang, pasti gak ada apa-apa”. Aku mulai menenangkan diriku sendiri.

“Assalamualaikum”
Aku menuju ke arah kakek yang sedang duduk-duduk dengan Mas Sholeh. Aku melihat wajah kakek dengan pembawaan tenang. Ya, wajah kakek masih seperti biasanya. “Berati tak ada apa-apa’’, pikirku dalam hati. 

“Waalaikumsalam, rene nduk, enek berita penting saka Jogja
Wonten napa mbah? Keluarga  sedaya sehat kan mbah?”
Ngene nduk, Umimu ngabari yen Yogyakarta lagi kena musibah. Merapi wis meletus maneh lan omahmu iku kena dampak.e

Air mataku langsung menetes mendengar berita buruk dari Yogyakarta. Sudah kuduga, jika Merapi meletus, maka rumahku yang hanya berjarak sepuluh kilo dari Merapi pasti kena dampak dahsyatnya

“Tenang, Nduk, sekeluarga akan kesana malam ini juga sama Mas Sholeh untuk memastikan keadaan Abah, umi dan adik-adikmu. Tolong kamu berdoa  untuk keselamatan mereka, Nduk.”

Aku menangis sejadi-jadinya. Badanku sudah kehilangan tenaga. Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Pasrah dan tawakal. Hanya itulah sandaranku.



Setiba di pengungsian. Aku tak kuasa menahan tangisku melihat Umi yang terbaring koma. Aku bisa merasakan, wajah Umi yang penuh kelembutan sedang meregang nyawa di ranjang pengungsian.

“Sabar mbak, Umi pasti akan sehat. Kita bersama-sama mendoakan Umi, Mbak”, Mas Sholeh yang sejak tadi mendampingiku berusaha tenang dan meghiburku. Aku teringat sesuatu. Ya, abah dan kedua adik kembarku. Mereka dimana? Mengapa mereka tak tampak di pengungsian ini?

“Mas Sholeh, Mas Sholeh, lihat abah dan adik-adikku?”
“Belum Mbak, tadi Mbah kyai yang mencari Abah. Bentar ya mbak, coba saya telepon mbah dulu”
“Iya Mas”

Sayup-sayup ku dengar percakapan Mas Sholeh dengan kakek. Aku tak mengerti pembicaraan mereka. Yang jelas, raut wajah Mas Sholeh berubah menjadi sedih dan seperti orang yang kehabisan semangat.
“Mas ada berita dari kakek?” tanyaku keheranan. Mas Sholeh hanya menjawab dengan tundukan lesu.  “Mas, ada apa?” kuulangi lagi pertanyaanku. “Mbak Laila yang sabar nggeh, Abah dan kedua adik mbak turut jadi korban Merapi dan mereka sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. “Innalillahi wainnailaihi raji’un”. Aku terbaring lemas menerima berita dari Mas Sholeh. Aku seakan tak kuasa menerima takdir ini.




Mas Sholeh yang sudah lima tahun mengabdi di pondok kakek dan menjadi orang kepercayaan Kakek dengan setia menemaniku merawat Umi. Sudah sebulan ini, Mas Sholeh diutus kakek tinggal di Yogyakarta untuk sekadar menemaniku merawat Umi. Mungkin, keadaan Umi yang masih labil membuat Mas Sholeh tak tega untuk meninggalkannya.

Di tengah menunggu Umi, aku menyempatkan diri untuk berbicara dengan Mas Sholeh.
“Mas Sholeh ?? “
Enggeh mbak Laila, ada yang perlu dibantu?”
Enggak kok mas, saya mau berbicara saja dengan Mas Sholeh. Soal Umi, Mas.”
Enggeh mbak, bagaimana keadaan Umi sekarang?’’
“Umi masih belum sadarkan diri, tapi tenang saja. Sudah ada perkembangan. Hmm, Mas Sholeh nggak ingin balik ke Kediri?”
“Mas Sholeh akan balik kalau keadaan keluargane sampeyan sudah kondusif. Apa Mbak Laila nggak ingin ke Kediri saja tinggal bersama Mbah Kyai atau melanjutkan belajar di pondok?”
Nggak mas, dulu saya berangkat ke Kediri atas permintaan Abah dan Umi. Abah dan Umi bercita-cita agar Laila jadi guru agama. Sekarang Laila sudah lima tahun belajar di pondok. Laila sekaran ingin mengabdi di kampong halaman Laila. Menjadi guru agama dan merawat Umi, Mas.”
“Ya sudah, jika itu memang inginnya Laila. Semoga ini menjadi pilihan terbaik.”
Aamin

Seketka itu, Mas Sholeh tersenyum dan menatapku dengan tajam, aku tak tahu apa yang ada di fikiran Mas Sholeh. Aku jadi tak enak hati dan segera mengalihkan pandangan.
“Mbak Laila, saya ingin bicara penting dengan sampeyan
“Iya, ada apa Mas?”
“Saya nggak tahu perasaan ini apa namanya. Yang jelas, saya tidak bisa berhenti memikirkan Mbak Laila“
Astagfirullahaladzim, jangan Mas. Selama kita bukan muhrim. Jangan memikirkan yang tidak-tidak terhadap  lawan jenis.”
“Maaf Mbak Laila, tapi saya berjanji nggak akan berbuat macam-macan dengan Mbak Laila. Saya hanya ingin ….. “
“Ingin apa, Mas?”
“Ingin agar Mbak Laila mau menikah dengan saya”
“Jangan berpikiran terlalu jauh, Mas”
“Tapi, saya serius, Mbak”
“Simpan saja rasa itu. Jikalau kita jodoh pasti kita akan dipertemukan oleh Allah”
Aku langsung beranjak dari tempat dudukku, meninggalkan Mas Sholeh, dan menghampiri Umi. Perkataan Mas Sholeh terus membekas. Mas Sholeh yang selama ini ku pandang alim dan tidak neko-neko ternyata bisa berbicara seperti itu.



Dua bulan berlalu dari peristiwa nahas Merapi, aku mulai menata diri. Umi sudah sadar dari komanya dan sudah bisa menerima kenyataan yang menimpa keluarga kami. Hidupku sekarang kufokuskan dengan mengajar ngaji anak-anak korban Merapi. Ini adalah bagian cita-cita Abah dan Umi. Aku bangga untuk menjalaninnya. Aku tak mengharapkan apa-apa dari semua ini. Kecuali ridho Allah.

Belakangan ini, fikiranku disibukkan dengan fikiran yang tak tentu arah. Aku tak tahu apa ini namanya. Aku mulai memfikirkan Mas Sholeh. Kata-kata Mas Sholeh dahulu membekas di hatiku. Aku merasa ada yang hilang saat ia kembali ke Kediri. Diam-diam aku mulai merasakan kerinduan.

Aku menulis surat kepada Mas Sholeh. Waktu demi waktu berlalu, Mas Sholeh tak kunjung membalasnya. Suatu saat Mas Sholeh membalas, aku tak sabar untuk segera membaca surat itu. Perlahan aku baca surat itu, Kata demi kata aku resapi. Air mataku mulai menetes ketika surat Mas Sholeh mengatakan “AKU AKAN SEGERA MENIKAH DENGAN GADIS PILIHAN KAKEK DAN AKU TAK BISA MENOLAKNYA”.

Hatiku serasa runtuh meratapi tulisan surat Mas Sholeh. Penantianku ternyata hanya berbuah kepahitan. Dan aku hanya bisa menitipkan kerinduanku yang sudah memuncak ini. Mas Sholeh, aku merindukan sosokmu.

0 komentar:

Posting Komentar